Rabu, 30 Juni 2010

Moralitas Mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong

PROPOSAL PENELITIAN
EFEKTIVITAS TATA TERTIB BERPAKAIAN
DI STKIP HAMZANWADI SELONG SEBAGAI STANDAR
MORAL MAHASISWA DALAM PERSPEKTIF YURIDIS SOSIOLOGIS





Oleh
MAS’UD
NPM. 06380023





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) HAMZANWADI SELONG
TAHUN 2010

MOTTO

















• Bahasaku, Bahasa Masyarakat
• Hembuskan Nafas Dengan Prestasi


Kata Pengantar

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan aktvitas sebagai insan akademis dan makluk sosial. Salawat serta salam atas junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, yang setia berjuang menegakkan konsep kebenaran untuk seluruh umat manusia, dan semoga beliau, keluarga beserta sahabat selalu dalam lindungan-Nya, amin...!!!.
Perkembangan ilmu pengetahuan seakan merayu dan memompa nalar-nalar kritis untuk mencari kebenaran demi terjawabnya dinamika hidup yang begitu kompleks. Salah satu caranya adalah dengan perencanaan penelitian dalam bentuk proposal untuk mencari serta menguji masalah dalam lapangan / dunia sosial. Proposal penelitian ini ditulis berdasarkan pengamatan dengan pendekatan-pendekatan sistematis terbimbing guna memenuhi kelengkapan syarat akdemis lainnya.
Proses pembimbingan penulisan proposal ini, tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala bentuk bantuan moril maupun materil kepada:
1. Bapak Drs.H.M.Suruji selaku ketua STKIP Hamzanwadi Selong.
2. Bapak Ahmad Tohri, M.Si, selaku ketua program studi pendidikan sosiologi di STKIP Hamzanwadi Selong.
3. Bapak Abdullah Muzakkar, M.Si, selaku ( pembibing I ), yang selalu setia membimbing dan mengajarkan untuk berpikir sebagai sosok akademisi sosiologi.
4. Bapak Syamsul Mujahidin, M.Hum, selaku ( pembimbing II ), yang selalu siap membimbing dan memberiku banyak inspirasi,
5. Yang saya cintai, Bapakku (H. Abdul Hamid Yusuf) dan Ibu (Hj. Jaenab), berkat do’a, dukungan serta cinta kasihnya yang tidak bisa diukir dengan pena.
6. Kawan – kawan Persatuan Mahasiswa Bima Dompu (PMBD) Lombok Timur yang selalu mengingatkanku selama berada di tanah rantauan Lombok Timur.
7. Adikku, Jufrin dan Hajnah yang telah banyak bersabar dan membantu selama penyusunan ini.
Untuk itu semua, penulis hanya mampu berdo’a kepada Rabbul’alam, semoga segala niat baik dan amal kebaikan yang telah diberikan oleh orang-orang penulis mendapatkan ganjaran di dunia maupun di akhirat. Amin..!!!.
Penulis menyadari, proposal yang telah disusun ini jauh dari kesempurnaan, dan lagi-lagi penulis mengharapkan bantuan dari segala pihak untuk melengkapinya dalam penulisan skripsi nanti.
Pancor, Juni 2010



Mas’ud
Daftar Isi
Halaman Judul i
Motto ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Lembar Pengesahan vi
Daftar tabel vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
BAB II. LANDASAN TEORI 7
A. Aturan tatatertib kampus 7
1. Pengertian Tatatertib Kampus 7
2. Tujuan Tatatertib Kampus 8
3. Kepatuhan Tatatertib Kampus 9
4. Evektivitas Penegakkan Tatatertib Kampus 10
B. Moral 12
1. Nilai, Moral Dan Hukum 12
2. Batasan Moral 13
3. Batasan Moral Ditinjau Dari Tatatertib Kampus 16
4. Perbedaan Etika dan Hukum 18
5. Sarana Pendidikan Moral 19
BAB III. METODE PENELITIAN 21
B. Jenis Penelitian 22
C. Metode Pengumpulan Data 20
D. Analisa Data 24
E. Alasan Pemilihan Lokasi 27
DAFTAR PUSTAKA 28



LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL PENELITIAN
EFEKTIVITAS TATA TERTIB BERPAKAIAN
DI STKIP HAMZANWADI SELONG SEBAGAI STANDAR
MORAL MAHASISWA DALAM PERSPEKTIF YURIDIS SOSIOLOGIS


Mas’ud
NPM. 06380023

Proposal ditulis untuk memenuhi persyaratan
penulisan skripsi sebagai tugas akhir
pada Program Studi Pendidikan Sosiologi.

Pancor, Juni 2010
Menyetujui:
Pembimbing I,



Abdullah Muzakkar, M.Si. Pembimbing II,



Syamsul Mujahidin, M.Hum.

Mengetahui:
Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi,



Ahmad Tohri, M.Si

DAFTAR TABEL

Tabel:Perbedaan Etika dan Hukum 18

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orang bijak menyatakan tidak ada individu yang tidak menarik, yang ada hanyalah individu bagaimana mengembangkan diri pribadi sebaik mungkin. Cara memahami bagaimana kepribadian itu dapat terbentuk biasanya dilakukan dengan berbagai pendekatan atau eksperimen yang bisa jadi mengujicobakan apa yang dinginkan untuk mengembangkan diri seseorang menuju kodradnya sebagai makhluk sosial. Pada dasarnya individu akan dihadapkan pada dua pilihan beserta konsekwensinya, yaitu berubah dan berkembang atau bersikap pasrah dan statis. Bila pilihannya adalah berubah maka dibutuhkan niat dan motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan, baik yang memberikan masukan itu dari luar maupun dari dalam diri seseorang tersebut.
Kaitannya dengan pembentukan kepribadian dan tindakan yang mencerminkan sebagai makhluk sosial, bukan saja berangkat dari diri seseorang itu sendiri saja melainkan adanya dukungan dan stimulus yang kearah mana sosok manusia itu dibawa. Aturan yang dibarengi dengan sanksi menjadikan orang patuh untuk menjalankanya, yang walaupun ada beberapa yang dianggap memilih menyimpang dari aturan itu.
Saat ini, pemerintah maupun segala pihak yang berkaitan dengan peningkatan Indeks Prestasi Manusia mulai berfokus bagaimana pendidikan Indonesia ini tidak lupa akan sejarah bangsa dan menjunjung tinggi nilai moralitas sebagai jiwa-jiwa yang terdidik. Pendidikan masih dipercayai sebagai proses yang mampu memompa tenaga produktif bangsa ini. Tenaga produktif (productive force) adalah suatu kemampuan masyarakat untuk menghasilkan suatu bentuk tindakan dan produk-produk baik yang bersifat ekonomis-teknologis maupun intelektualitas.
Prinsip pendidikan sangatlah komprehensif yang bukan saja dipandang sebagai pemustakaan ilmu pengetahuan maupun menguasai informasi melainkan juga siswa, mahasiswa, individu memiliki tanggungjawab (sense of responsibility) dan kepedulian sosial yang tinggi.
Ketika pendidikan membentuk watak manusia yang justru mengarah pada kontradiksi kebudayaan, maka pendidikan harus menempatkan dirinya sebagai kekuatan melawan penguasa (counter-hegemony) terhadap dominasi. Dalam era kapitalisme (neoliberalisme: pasar bebas) sekarang ini, lembaga pendidikan tidak memiliki banyak waktu untuk mengajari anak-anak didik (pelajar, mahasiswa, masyarakat) tentang cara membangun kebudayan yang memberdayakan. Sekolah, kampus, dan lembaga pendidikan lainnya seakan hanya mengajari menghafal nama-nama para tokoh, teori, sebagai sosok makhluk yang perbendaharaan katanya lebih luas.
Memang begitulah kenyataannya. Di zaman orde baru pendidikan moral adalah mata pelajaran wajib dan mendapatkan perioritas utama dengan praktik-praktik seperti menghafalkan butir-butir pancasila dan itupun tampak di era sekarang ini yang dianggap modern oleh makhluk-makhluk materialisme yang berwajahkan islam tulen. Tututan mempraktikkan pendidikan moral di dunia kampus tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan atau memanusiakan manusia kampus/ mahasiswa. STKIP Hamzanwadi memang berada di lingkungan santri tetapi bukan berarti nilai-nilai yang tergelut didalamnya juga selalu bernuansa santri.
Tuntutan tersebut dalam Buku “Pendidikan Berbasis Masyarkat” (Lihat: Zubaedi:2005:1) muncul dilatarbelakangi oleh dua kondisi. Pertama, bangsa Indonesia saat ini sepertinya telah kehilangan karakter yang telah dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa kesopanan, rendah hati, suka menolong, solidaritas sosial, dan sebagainya yang merupakan jati diri bangsa seolah-olah hilang begitu saja. Keadaan ini telah menggugah kesadaran bersama terhadap perlunya memperkuat kembali dimensi moralitas bangsa kita termasuk yang menjadi objek dalam penelitian ini.
Kedua, kondisi lingkungan sosial kita belakangan ini diwarnai oleh maraknya tindakan barbarisme, vandalisme baik fisik maupun non-fisik, adanya model-model KKN baru, hilangnya keteladanan pemimpin, sering terjadi pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan Negara(Zubaedi:2005:1)
Dapat dikatakan krisis moral yang menimpa bangsa semakin menjadi-jadi, ditandai dengan maraknya tindakan asusila sampai-sampai banyak mahasiswa disergap diberbagai lokasi wisata melakukan tindak tidak senonoh yang tidak sesuai dengan harapan bangsa pada umumnya dan STKIP Hamzanwadi Selong pada khususnya. Akibatnya, tingkat kenyamanan, keamanan serta cap santri Desa Pancor sedikit demi sedikit mulai memudar. Antusias dan rasa was-was menjadi perasaan yang harus dimiliki oleh lembaga-lembaga terkait, khususnya lembaga STKIP Hamzanwadi Selong.
Menurut pengamat sosial, terjadinya krisis moral seperti sekarang sebagian bersumber dari lembaga pendidikan nasional yang dianggap belum optimal membentuk kepribadian peserta didik (Zubaedi: 2005: 2). Persoalan seperti ini memberikan peluang dalam berpersepsi bagi pengamat maupun kelompok tertentu yang memiliki keterkaitan dengan masalah tersebut. STKIP Hamzanwadi selong sebagai perguruan tinggi yang berada diwilayah Lombok Timur memiliki tanggungjawab dalam menerapkan berbagai pendekatan-pendekatan demi peningkatan kualitas hasil didikan (peserta didik/mahasiswa).
Tatatertib baru-baru ini misalnya, yang dirasa menjadi sebuah slogan saja bagi mahasiswa dalam aktivitas perkuliahan sehari-hari. Betapa tidak, kontrol berkelanjutan sebagai bentuk aplikasi aturan ini masih kurang. Banyak mahasiswa yang bercelana jeans, baju ketat, sandal jepit, kaos oblong, menjadikan persoalan ini diangkat sebagai karya tulis yag berjudul Efektivitas Tatatertib Berpakain Terhadap Pola Tindakan Bermoral Mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong.



B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tatatertib itu dibuat?
2. Bagaimanakah evektivitas tata tertib berpakaian di STKIP Hamzanwadi Selong sebagai standar moral mahasiswa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui efektivitas tatatertib berpakaian di lingungan STKIP Hamzanwadi Selong
2. Untuk mengetahui dampak tatatertib berpakai terhadap tindakan bermoral mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong
D. Manfaat
1. Bersifat Teoritis
1.1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan penulis tentang dinamika kampus kaitannya dengan moralitas mahasiswa santri
1.2. Penulis lebih memahami fungsi lembaga STKIP Hamzanwadi Selong
1.3. Penulis dapat memahami faktor – faktor pemasangan tatatertib pada perguruan tinggi khususnya STKIP Hamzanwadi Selong
2. Bersifat Praktis
2.1. Sebagai acuan lembaga STKIP Hamzanwadi Selong dalam membuat kebijakan
2.2. Segala unsur dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan posisi masing-masing.
2.3. Lembaga STKIP Hamzanwadi Selong dapat mengetahui tentang pengaruh tatatertib yang dikeluarkan.























BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tatatertib Kampus
1. Pengertian Tata tertib Kampus
(Mulyono, 2000:14) tata tertib adalah kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. (Dekdikbud,1989:37) tata tertib kampus adalah aturan atau peraturan yang baik dan merupakan hasil pelaksanaan yang konsisten (tatap azas) dari peraturan yang ada.
Aturan – aturan ketertiban dalam keteraturan terhadap tata tertib kampus, meliputi kewajiban, keharusan dan larangan – larangan, yang jelas, dimanapun kelompok itu berada, baik formal atau tidak formal selalu memiliki aturan. Jika mengacu pada dasar dan tempat berdirinya, STKIP Hamzanwadi Selong berada dibawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan sewajarnya-lah diadakannya aturan-aturan mengikat dengan menggandeng nilai-nilai kesantrian bagi setiap insan yang tergelut di dalamnya .
Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:145; ketertiban berarti kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam tata hidup bersama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ketertiban kampus tersebut dituangkan dalam sebuah tata tertib kampus. (Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:146) mengartikan tata tertib kampus: sebagai kesediaan mematuhi ketentuan berupa peraturan – peraturan tentang kehidupan kampus sehari –14 hari. Tata tertib kampus disusun secara operasional guna mengatur tingkah laku dan sikap hidup mahasiswa, Dosen dan karyawan administrasi. Secara umum tata tertib kampus dapat diartikan sebagai ikatan atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga kampus tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Sebaliknya, bukan memayungi kaum / golongan tertentu dari hujan deokrasi yang menyuarakan moralitas
Pelaksanaan tata tertib kampus akan dapat berjalan dengan baik jika Dosen, aparat kampus dan mahasiswa telah saling mendukung terhadap tata tertib kampus itu sendiri, kurangnya dukungan dari mahasiswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib kampus yang diterapkan di kampus. Peraturan kampus yang berupa tata tertib kampus merupakan kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di lingkungan kampus. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata tertib kampus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di kampus agar proses pendidikan dapat berlangsung dengan efektif, efisien, aman dan nyaman.
2. Tujuan Tata Tertib Kampus
Secara umum dibuatnya tata tertib kampus mempunyai tujuan utama agar semua warga kampus mengetahui apa tugas, hak dan kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan kampus dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib kampus adalah diharuskan, dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di lingkungan kampus.
Tata tertib kampus harus ada sanksi atau hukuman bagi yang melanggarnya. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus dipertimbangkan sesuai dengan perkembangan mahasiswa dan masyarakat saat ini. Sehingga perkembangan jiwa mahasiswa tidak dan jangan sampai dirugikan serta menimbulkan goncagan-goncangan stabilitas dengan berbagai bentuk gerkan mahasiswa seperti; aksi, demonstrasi dan lain sebagainya.
Tata tertib kampus dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
a. Agar mahasiswa mengetahui tugas, hak dan kewajibannya.
b. Agar mahasiswa mengetahui hal – hal yang diperbolehkan dan bentuk kreatifitas yang meningkat serta terhindar dari masalah – masalah yang dapat menyulitkan dirinya yakni difasilitasi berbagai macam wadah yang namanya organisasi.
c. Agar mahasiswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan sungguh – sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan oleh kampus dan wadah organisasinya masing-masing baik intrakurikuler maupun ektrakurikuler.
3. Kepatuhan Terhadap Tata Tertib
Graham (Sanjaya, 2006:272 – 273) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma – norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu, (1) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri; (2) Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri; (3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan – pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah tingkah laku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Memang, jika dipikirkan dengan rasional, tingkahlaku dan tindakan mahasiswa palig tidak, sudah mencerminkan berbagai jenis kepatuhan akan aturan-aturan tertentu dan banyak orang menganggap sebagai agen of control and agen of change, namun ternyata hal demikian tidak serta merta menjamin terhadap dipercayanya sosok perubah ini sebagai ujung tombak dalam menentukan tindakan yang benar dan salah.
4. Evektifitas Penegakkan Tatatertib Kampus
Mengukur efektif atau tidak aturan hukun / tatatertib yang dicanangkan tidaklah mudah, apalagi yang berkaitan dengan sikap dan perilaku, lebih-lebih tentang batasan moral yang sesuai ukuran aturan tertentu. Secara empirik, evektifitas penegakkan hukum dikemukakan oleh Walter C. Reckless, yaitu harus dilihat bagaimana sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya (Bambang, S,2004:58).
Agenda revormasi hukum, terutama dalam bidang penegakkan hukum (law enforcement) merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dijalankan. Penegakkan hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsa dibidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Meskipun demikian, untuk mewujudkan evektifitas penegakkan hukum tidaklah mudah, karena harus memenuhi syarat tegaknya lima pilar hukum yang meliputi; 1). Instrumen hukum yang baik, 2). Aparat penegakkan hukum yang tangguh, 3). Sarana prasana atau peralatannya yang memadai, 4). Kesadaran hukum masyarakat yang tinggi, dan 5). Birokrasi yang mendukung.
(Bambang.S, 2004:57 )

Masalah penegakkan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secara normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Penegakkan hukum menjadi sesuatu yang berharga dikala das sollen dan das sein menyepakati ketimpangan yang dianggap bertolak belakang menjadi satu persepsi dalam konsep Yuridis Sosiologi.
Mengaplikasikan hal ini tidaklah mudah, dikala birokrasi dan pelaksana sistem-sistem hukum tidak disiplin terhadap pelaksananya. Maka, instrumen dan aparat penegakkan hukum yang tangguh merupakan kunci terlaksannya atau tidak.

B. Moral
1. Nilai, Moral dan Hukum
Berbicara tetang nilai, konsep umum seringkali menyalah artikan yang berlandaskan pada konsep keumuman. Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Karena itu, maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur tingkah laku manusia. Pengertian nilai adalah (Daroeso, 1986:20):
Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik (interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan suatu sistem keyakinan (belief).

Di antara beberapa macam nilai, ada nilai etik. Nilai etik atau nilai yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat berubah – ubah sesuai dengan waktu, tempat dan keadaannya.
Pelaksanaan norma moral yang merupakan perwujudan dari nilai etik itu, tergantung pada manusianya. Penilaian moral dari perbuatan manusia ini meliputi semua penghidupan, dalam hal ini hubungan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat maupun terhadap alam. Perbuatan manusia dinilai secara moral bilamana perbuatan itu didasarkan pada kesadaran moral.
Adanya nilai – nilai yang merupakn rangsangan (stimulus) diterima oleh pancaindera, menimbulkan suatu proses dalam diri individu yang dapat berupa suatu kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan keputusan. Perbuatan susila adalah merupakan wujud dari norma moral dan norma moral merupakan ungkapan dari nilai etis (Daroeso, 1986:28).
Karena itulah nilai etis menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari – hari. Nilai etis bersifat normatif dan tingkah laku perbuatan manusia mengarah kepadanya. Jika nilai etis menjadi acuan untuk bertindak, maka sediit tidak nilai, norma dan moralitas menjadi sesutu yang diagungkan.
2. Batasan Moral
Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan: ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:80). Driyakara mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan” adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia (Daroeso, 1986:22). Bericara tentang batasan moral tidak – lah semudah membalikkan telapak tangan apalagi meyatakan ukuran atau berbentuk yang dapat dilihat secara kasat mata.
Moral selalu berkaitan dengan nilai – nilai lahiran atau sesuatu yang dibawa sejak lahir oleh manusia, cinta, kasih sayang, susah, sedi, senang, marah dan lain sebagainya merupakan nilai kodratiah dari sang maha pencipta. Nilai- nilai yang dikodratkan ini diaktualisasikan oleh manusia dengan berbagai bentuk tindakan dalam kehidupan masyarakat.
Huky (Daroeso, 1986:22) mengatakan: kita dapat memahami moral dengan tiga cara:
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat, begitupun mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong dalam kasus yang diangkat ini; mahasiswa dianggap bermoral jika bertingkahlaku sesuai dengan aturan yang telah dibuat.
Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Salam, 2000:74).Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar.
Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok (Daroeso, 1986:26). Dalam melaksanakan perbuatan tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu:
b. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan.
c. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
d. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.

3. Batasan Moral Mahasiswa Ditinjau Dari Tatatertib Kampus
Mengukur, menilai, serta memberikan porsentase kepada sesuatu yag abstrak merupakan sesuatu yang tidak mudah bahkan sulit dilakukan, apalagi berkaitan dengan moral. Namun, hal demikian mampu terjawab jika nilai yang disepakati oleh masyarakat tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh individu atau bertentangan pada norma-norma masyarakat.
Durkheim, menyatakan bahwa moralitas menghendaki keterikatan dengan masyarakat, karena masyarakat adalah sumber moralitas, (George.R & Douglas.J.G,2004:113 ).
Dari pendapat diatas tergambarkan batasan individu dikatakan memiliki nilai moralitas atau tidak dikala hukum masyarakat (yuridis sosiologis) tidak dikehendaki. Artinya, sumber hukum dalam hal ini merupakan masyarakat. STKIP Hamzanwadi Selong sebagai organisasi pendidikan bagian dari masyarakat, sudah barang tentu memiliki aturan / tatatertib yang mengikat sistem-sistem di dalamnya, salah satu bentuknya adalah pembentukan tatatertib berpakaian untuk mahasiswa tentang Norma dan Etika; pasal ( 5 ) tentang ”pergaulan” dan pasal ( 6 ) tentang cara ”berpakaian dan Busana” di lingkungan kampus STKIP Hamzanwadi Selong yaitu;
Pasal 5 (Pergaulan)
Pergaulan Adalah:
(1) Setiap mahasiswa STKIP HAMZANWADI SELONG berkewajiban berperilaku dan bersikap sopan dan menjaga martabat sesama civitas akademika dan masyarakat.
(2) Setiap mahasiswa STKIP HAMZANWADI SELONG berkewajiban untuk memelihara segala fasilitas dan membantu kelacaran proses belajar mengajar.
Pasal 6 (Berpakian dan Busana)
(1) Setiap mahasiswa STKIP HAMZANWADI SELONG berkewajiban untuk berpakaian dan bersepatu secara rapi dan sopan, sesuai dengan norma yang berlaku.
(2) Setiap mahasiswa STKIP HAMZANWADI SELONG dilarang berpakaian tidak sopan, ketat, kotor dan tidak pantas pada kegiatan belajar dan mengajar serta aktifitas lainnya yang dilaksanakan di kampus STKIP HAMZANWADI SELONG.
(3) Setiap mahasiswa STKIP HAMZANWADI SELONG dilarang menggunakan sandal, kaos oblong, kalung, anting, jeans atau laveis dilingkungan kampus.
(4) Pada kegiatan upacara/kegiatan khusus diharuskan mengikuti ketentuan pakaian beserta kelengkapan yang berlaku
Sumber (PUKET III STKIP Hamzanwadi Selong, 25 Mei 2010)

Keterikatan mahasiswa melalui tatatertib merupakan wujud kebersumberan nilai moral pada Pergurun Tinggi STKIP Hamzanwadi Selong. Dikala tatatertib menjadi sumber batasan dikatakannya bermoral atau tidak, maka mahasiswa merupakan objek pendisiplinan moral dari tatatertib.


4. Perbedaan Etika dan Hukum
Etika dan moral merupakan sesuatu yang saling berkaitan satu sama lain. etika (etimologi) berasal dari bahasa yunani yaitu ”ethos” yang berarti watak kebiasaan atau adat istiadat (custom), (Ruslan.R, 2002:29). Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan etika dan hukum tergambar pada tabel dibawah ini:
BIDANG SIFAT TUJUAN SANKSI
1. ETIKA o Baik atau buruk (Nilai Universal)
o Moral o Mengatur perilaku
o Berakhlak baik o Tidak ada
o A’Moral
2. ETIKET o Sopan santun o Tata Krama
o Pergaulan formal o Tidak ada
o Tidak sopan
3. KODE ETIK Etik internal profesi (self-imposed) o tatatertib
o Memelihara perilaku professional PR o Teguran lisan / tertulis
o Skorsing
o Pemecatan
4. DISIPLIN Pengaturan umum Ketertiban individual dan organisasi o Teguran lisan/ tertulis
o Skorsing
o Pemecatan
o Pembubaran
o Pelarangan
5. HUKUM Hokum publik o Menjaga ketertiban
o Keadilan umum o Hukum perdata
o Hukum pidana
Tabel: Perbedaan Eika dan Hukum
Sumber (Ruslan. R, 2002:125)



5. Sarana Pendidikan Moral
Pandangan Daryanto (2001:51) tentang sarana pendidikan moral adalah seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana pendidikan moral dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alat pendidikan. Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi – kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi mana, dicita – citakan dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ialah suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.
Suwarno (Daryanto, 2001:141) membedakan alat pendidikan dari bermacam – macam segi salah satunya adalah alat pendidikan preventif dan korektif. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik, misalnya contoh: pembiasaan perintah, pujian, ganjaran. Kedua adalah alat pendidikan korektif, jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau berbuat sesuatu yang buruk, misalnya: celaan, ancaman, hukuman.
Alat pendidikan yang preventif ialah alat – alat pendidikan yang bersifat pencegahan yaitu untuk mencegah masuknya pengaruh – pengaruh buruk dari luar ke dalam diri mahasiswa. Kewajiban pendidik adalah mendidik mahasiswa menjadi sosok yang berwatak baik dan mencegah/membentengi mahasiswa dari masuknya pengaruh – pengaruh yang buruk ke dalam dirinya. Jenis alat – alat pendidikan preventif yang abstrak seperti tata tertib, anjuran, larangan, perintah, disiplin dan semisalnya. Hal – hal yang diperbaiki (korektif) adalah perbuatan – perbuatan jelek yang sudah menjadi kebiasaan diperbuat mahasiswa, seperti berpakaian sexi sehingga menimbulkan lekukan tubuh, seks bebas di berbagai tempat; wisata maupun kos-kosan, suka mengambil barang milik orang lain, dan lain sebagainya.


















BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini diambil karena dalam penelitian ini sasaran atau obyek penelitian dibatasi agar data-data yang diambil dapat digali sebanyak mungkin serta agar dalam penelitian ini tidak dimungkinkan adanya pelebaran obyek penelitian. Penelitian dilakukan langsung di lapangan, namun penentuan rumusan masalah tidak ditentukan di lapangan akan tetapi, rumusan yang merupakan hipotesis awal terhadap penentuan rumusan masalah yang baru di temukan dilapangan, juga memungkinkan berubah-ubah sesuai data yang ada sehingga akan ditemukan sebuah titi persoalan yang ingin diteliti.
Penelitian ini bertolak dari cara berfikir induktif, kemudian berfikir secara deduktif apabila permasalahannya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi ril yang ditemuka di lapangan. Penelitian ini menganggap data adalah inspirasi menentukan pesoalan mana yang sesuai dengan masalah yang diangkat. Yang walaupun sedikit tidak persoalannya telah dapat diketahui.
Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian deskriptif, yakni jenis penelitian yang hanya menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel. Dalam penelitian ini, akan dijabarkan kondisi konkrit dari obyek penelitian, menghubungkan satu variabel atau kondisi dengan variabel atau kondisi lainnya dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang obyek penelitian.

B. Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara (interviu) dan dokumentasi.
a. Observasi
Dalam penelitian ini, observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau rangkaian foto (Rachman, 1999:77).
Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi secara langsung dan tidak langsung yaitu di STKIP Hamzanwadi Selong
b. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu wawancara yang mengajak pertanyaan – pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135). Wawancara merupakan data informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula.
(Rachman, 1999, 83). Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa pedoman atau instrumen wawancara yaitu berbentuk pertanyaan yang diajukan kepada subjek penelitian. Sedangkan wawancara yang diterapkan adalah wawancara berstruktur. Wawancara berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai check – list (Arikunto, 2002:20). Selain itu wawancara dilakukan melalui wawancara tak berstruktur yaitu wawancara dilakukan secara informal, dimana pertanyaan tentang pandangan sikap, keyakinan subjek atau tentang keterangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib kampus sebgai sandar moral mahasiswa di STKIP Hamzanwadi Selong yang diajukan secara bebas kepada subjek penelitian. Di samping itu wawancara ini dapat dikembangkan apabila diperlukan untuk melengkapi data – data yang masih kurang.
Kelebihan tersebut wawancara tak berstruktur antara lain:
1. Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan keterangan dengan lebih cepat.
2. Ada keyakinan bahwa penafsiran responden terhadap pertanyaan yang diajukan adalah tepat.
3. Sifatnya lebih luas.
4. Pembatasan – pembatasan dapat dilakukan secara langsung, apabila jawaban yang diberikan melewati batas ruang lingkup masalah yang diteliti.
5. Kebenaran jawaban dapat diperiksa secara langsung.
(Soekanto, 1984:25)
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa wawancara adalah untuk mendapatkan gambaran yang sejelas – jelasnya dan informasi yang selengkap – lengkapnya. Melalui wawancara ini diharapkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan tata tertib kampus sebagai standar moral mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, surat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2002:206).
C. Analisa Data.
Patton (Hasan, 2002:97) mengemukakan analisis data adalah proses mengatur urutan data mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan Bogdan dan Taylor (Hasan, 2002:97) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha formal untuk menemukan tema dan merumusakan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu.
Moleong (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumusakan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan data.
Bentuk dan Cara Melakukan Analisis Data
Pada prinsipnya analisis data ada dua cara yaitu analisis statistic dan analisis non statistik, hal ini tergantung pada datanya. Adapun analisis data non statistik, yang disebut juga sebagai analisis kualitatif deskriptif yaitu analisis yang tidak menggunakan model matematik, model statistik dan ekonometrik atau model – model tertentu lainnya. Analisis data dilakukan terbatas pada teknik pengolahan datanya, seperti pada dinding-dingding aturan, mading serta media tatatertib yang tersedia kemudian melakukan uraian dan penafsiran (Hasan, 2002:98).
Toha Anggoro (6.18 : 2002) Langkah- langkah analissi yang biasa dilakukan oleh para peneliti kualitatif yang dapat dijadikan acuan dalam upaya untuk memhami dan meninterpretasikan data yang diperoleh. Analisis data kualitatif pada umumnya merupakan suatu proses interatif yang berkesinambungan yang mencakup kegiatan-kegiatan berikut ini;
1. Analisis temuan yang terus menerus di lapangan, khususnya dalam masalah yang diteliti dan juga dalam keseluruhan fenomena yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian, dengan tujuan untuk mendapatkan tema-tema besar dan untuk mengembangkan konsep-konsep
2. Pengelompokkan dan pengorganisasian data, sesegera mungkin setelah data diperoleh sehingga dapat membantu peneliti dalam memahami pole permasalahan dan atau fenomena yang diteliti.
3. evaluasi kualitatif tentang validitas atau kepercayaan data yang terus menerus
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif non statistik, dimana komponen reduksi data, dan sajian data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data setelah data terkumpul maka, tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan) berinteraksi. Ini untuk menjawab permasalahan pertama dari penelitian. Langkah – langkah analisis kualitatif deskriptif adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data ialah mencari, mencatat dan mengumpulkan semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan yaitu pencatatan data yang diperlukan terhadap berbagai jenis data dan berbagai bentuk data yang ada di lapangan yang diturunkan peneliti serta melakukan pencatatan di lapangan.
b. Reduksi data
Data yang telah terkumpul dipilih dan dikelompokkan berdasarkan data yang mirip atau sama. Kemudian data ini diorganisasikan untuk mendapatkan kesimpulan data sebagai bahan penyajian data. Penyusunan data dilakukan dengan pertimbangan penyusunan data sebagai berikut:
1). Hanya memasukan data yang penting dan benar – benar dibutuhkan.
2). Hanya memasukan data yang benar – benar objektif.
3). Hanya memasukan data yang autentik.
4). Membedakan antara data informasi dengan pesan pribadi responden.
(Rachman, 1999:103).
c. Penyajian data
Setelah diorganisasikan, selanjutnya data disajikan dalam uraian – uraian naratif disertai dengan bagan atau tabel untuk memperjelas penyajian data.
d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Setelah data disajikan, maka dilakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
D. Alasan pemilihan lokasi
Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Ruang dan tempat penelitian peneliti dapat dijagkau dengan mudah
2. persoalan yang muncul memiliki keterkaitan dengan ruang gerak peneliti (lingkungan akademik)
3. pemahaman peneliti tentang dinamika kampus mendukung diangkatnya persoalan ini.
4. Persoalan akademik dan kebijakan (Aturan menata moral) lembaga belum pernah diangkat.




Daftar Pusataka
Anggoro, Toha, dkk. 2002. Metode Penelitian. Jakarta. Universitas Terbuka.

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Faisal, Sanapiah. 1989. Format – Format Penelitian Sosial. Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi – Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.

Makalah. Rasydi Syahra. Krisis Moral: Sebuah Pemahaman Sosiologis

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyono. 1998. Kesadaran Berbangsa. Bandung: Angkasa

Ritzer.G dan Goodman D.J. 2003. Teori Siosiologi Modern. Preneda Media- Jakarta

Ruslan, R. 2002. Etika Kehumasan Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada

Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta

Soemardjan, Selo. 1993. Masayarakat dan Manusia Dalam Pembangunan. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Anggota Ikapi Jakarta

Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa ‘Dari Teori Hinga Aplikasi. Penerbit PT. Bumi Aksara, jakarta

Sutiyoso, B. 2004. Aktualita Hukum Dalam Era Revormasi. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang. 1989.
Administrasi Pendidikan. Malang: IKIP Malang Press

Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Pustaka Pelajar






























PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA
BAGI Pembantu Ketua III STKIP Hamzanwadi Selong

Nama :
Usia :
Alamat :
1. Dasar pembuatan tatatertib.
a. Sejak kapan tatatertib itu dibuat?
b. Siapa yang membuat tatatertin itu?
c. Untuk siapa saja tatatertib itu dibuat?
d. Apakah melibatkan pihak lain dalam pembuatannya? Siapa?
e. Bagaimana respon pihak lain tersebut?
f. Apakah pembuatan tatatertib ini melibatkan mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong? Dan atau perwakilannya?
g. Apakah sudah dimusyawarahkan pada tataran birokrasi lembaga?
h. Bagaimana respon dari dosen STKIP Hamzanwad Selong terhadap tatatertib itu?

2. Evektivitas tata tertib berpakaian di STKIP Hamzanwadi Selong sebagai standar moral mahasiswa?
a. Bagaimana respon anda terhadap mahasiswa yang melnggar tatatertib itu?
b. Apakah ada tindak lanjut berupa sanksi untuk mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong terhadap dikeluarkannya tatatertin itu?
c. Sanksi apa yang siberikan jika melanggar tatatertib itu?
d. Siapa yang memberikan sanksi itu?
e. Dimana tempat pemberian sanksi?
f. Bagaimana respon mahasiswa terhadap pemberian sanksi?
g. Bagaimana pemahaman anda dengan moral?
h. Bagaimana standar moral yang diinginkan STKIP terhadap mahasiswa?
i. Apakah mahasiswa STKIP Hamzanwadi Selong sekarang telah memenuhi standar moral sesuai dengan keinginan STKIP Hamzanwadi Selong?










Moeljatno (165;1983) dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampu bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan baik orang yang normal, yang sehat. Dalan KUHP kita tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu ialah pasal 44: “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat diperanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Kalau tidak dapat dipertanggugjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal atau aturan tersebut tidak ddapat dipakai.
Dari ucapan-ucapan diatas kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:
2. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan baik dan buruk; yang sesuai hukun dan yang melawan hukum
3. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
(azas-azas hukum pidana; moeljatno;penerbit; PT. Bina aksara jakarta: 1983)
Theo Huijbers (279:1983) ”salah satu masalah pokok yang selalu kembali dalam pemikiran tentang hukum ialah; apakah hkum mewajibkan? Dan kalau mewajibkan; darimana kewajiban itu?”
Dari sejarah filsafat hukum menjadi nyata bahwa tanggapan tentang kewajiban hukum berkaitan erat dengan tanggapan tentang hukum sebagai hukum yang adil. Orang yang menuntut supaya hukum bersifat adil, berpendapat bahwa mewajibkan pula.
Hukum menjadi hukum oleh karena mendapat asalanya dari instansi yang berwenang. Menurut para sarjana hukum justru dalam hal ini berbeda dengan etika yang berakar dalam batin manusia pribadi. Perintah-perintah hukum jangan disamakan dengan perintah-perintah etika. Kalau hukum digabungkan dengan etika, maka hukum sudah menyimpang dari maknanya yang sebenarnya. Pandangan ii dianut oleh semua aliran neositivisme baik dari abad yang lampau maupun dari abad XX.
(filsafat hukum dalam lintas sejarah; theo huijbers; penerbit; kasinus (anggota IKAPI) yogyakarta. 1982)